Lama banget nggak posting lagi di sini. Saya terlalu sibuk soalnya, sibuk mikir. Mikirin kuliah, mikirin keluarga, mikirin negara. numpang lewat aja jarang di blogspot, apalagi posting. Blah.
barusan seliweran di twitter dan liat salah satu temen ngetweet mau ngeblog. Selanjutnya di sinilah saya. Open new tab masukin emaill sama password dan blogging.
Tadinya mau update status facebook, tapi berhubung kalo di fb jadinya malah ngancurin homepages fb orang mending saya tulis di sini aja.
Saya mulai jengah dengan orang-orang yang sangat terlihat menjaga tutur kata, terlihat begitu mulia pada sesama, dan selalu siap membantu siapa saja kapan saja. Manusia tetap saja akan menjadi manusia, takkan sempurna meski berapapun kuatnya kamu mencoba. Karena bagi saya orang-orang ini justru terlihat sebaliknya, menjaga tutur katanya untuk menutupi apa yang sebenarnya selalu diucapkannya. Begitu baik pada sesamanya agar mereka tak tahu apa yang sebenarnya dilakukannya. Membantu apapun bahkan tanpa orang minta agar kelak dapat mengenang jasa-jasanya. Lalu dimana letak ikhlas yang sesungguhnya??
Saya merasa selalu hidup dalam kepungan orang-orang seperti itu. Bukannya pintar dalam artian yang sebenarnya, tapi pintar mengasah kelicikannya. Hiduplah dengan baik dalam batasan lingkaran kehidupanmu sendiri-sendiri. Tidakkah kalian sadar oksigen di sini tidak cukup untuk selalu kita bagi?!
Kadang kenangan seakan memutar semuanya menjadi film drama yang memaksa saya menontonnya. Tentang kisah anak miskin yang kemudian menjadi kaya karena bantuan bangsawan-bangsawan kaya raya. Tentang pelajaran agar kelak hingga mati hidup dengan meng-agungkan nama mereka. oh tidak! sungguh ini bukan drama yang saya harapkan.
Hari ini saya menangis seperti anjing kehilangan induknya karena kesal akan semuanya. Kesal mengapa hidup saya tidak semudah mereka? mengapa jalan yang saya lewati begitu rusak, hancur, panjang dan berliku? tidakkah makhluk Tuhan semuanya sama? lantas mengapa mereka selalu memamerkan kehebatannya kepada saya? apakah karena mereka tahu saya pasti akan menggigit jari karena iri?
Bagi saya semua seakan terlihat mereka tidak menginginkan saya maju. Jika memang saya maju, harus mereka yang mendorong saya dari belakang hingga saya bergerak ke depan untuk maju. Kemudian apa gunanya kaki yang Tuhan ciptakan untuk saya melangkah? mengapa tak sekalian diganti saja dengan kayu agar hanya mereka yang bisa menggerakkannya. Tidak bisa kan? karena mereka bukan Tuhan.
Sekarang setelah saya jalan di tempat tak bergerak, akhirnya mereka sampai di pintu keluar terlebih dahulu. Tentu mereka bangga, tapi saya?? separuh bahagia dan seluruhnya menderita. Sungguh wajah yang telah lelah memperjuangkan segalanya tiba-tiba menyeruak dari kepala dan batin saya. Wajah penuh harap seorang ibu yang selalu bermimpi anaknya akan membuatnya bangga dengan ijasah dan toga. Setengah hati saya ingin berteriak meminta maaf dan mengatakan ini semua saya lakukan karena mereka. tapi setengahnya lagi memaksa saya diam agar tak membuatnya semakin lelah. Lima tahun sudah sangat lama jika dibandingkan dengan yang saya lakukan di sini. Sibuk mencari tawa dan melarikan diri dari pikiran tentang dengki yang sudah menghanguskan sebagian hati kecil saya. Pada akhirnya saya mulai sama seperti mereka, sibuk memikirkan orang lain tapi lupa mengoreksi diri sendiri.
siapa yang tidak menyesal ketika gagal membanggakan orang yang paling dicintainya? saya tentu sangat menyesal. mengalah pada mereka dan membelah kebahagian orangtua saya.
Semoga Tuhan juga tidak membuat saya mengalah selamanya. Ibu saya juga manusia. persis sama seperti mereka, bedanya hanya dia tak berpendidikan dalam definisi seperti mereka. sehingga tak pandai bersandiwara untuk terlihat menawan dan mulia.
Saya mulai melihat mereka seperti fatamorgana. Terlihat indah karena pantulan panasnya udara, bahkan bermula dari seorang peri yang pandai berubah rupa. keindahan yang klise. semoga kemudian saya hidup tidak menjadi seperti mereka.
